RANCANGAN Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama atau Ranperpres PKUB dinilai bakal jadi biang kerok baru dalam kehidupan masyarakat.
Sebab, terdapat banyak pasal yang diusulkan malah berpotensi menyuburkan aksi intoleransi serta diskriminasi terhadap kelompok agama rentan. Misalnya, kelompok penghayat kepercayaan.
Kekhawatiran banyak pihak itu tentu beralasan. Dalam 36 pasal yang termaktub dalam rancangan Perpres PKUB, tidak ada satu pun yang menyatakan mengakui penghayat kepercayaan sebagai agama.
Bagi para akademisi maupun aktivis HAM, rancangan Perpres PKUB itu justru suatu langkah mundur setelah sebelumnya Mahkamah Konstitusi mengafirmasi eksistensi penghayat kepercayaan dengan membolehkan mereka mencantumkan aliran spiritual masing-masing dalam kolom agama di kartu tanda penduduk.
Belum lagi masih adanya aturan 90 per 60 sebagai persyaratan utama pendirian rumah ibadah. Untuk diketahui, syarat persetujuan mayoritas tersebut kerap menjadi pemicu terjadinya aksi intoleransi.
Persyaratan 90 per 60 itu adalah setiap pihak yang hendak mendirikan rumah ibadah, harus mempunyai minimal 90 orang jemaat. Sementara yang dimaksud 60 adalah mereka harus mendapatkan persetujuan warga dengan jumlah minimal seperti itu.
Tapi masalahnya, di sejumlah daerah, persyaratan itu mustahil terpenuhi. Sedangkan di banyak wilayah, ada pula intimidasi terhadap warga yang mau mendukung pendirian rumah ibadah.
Awalnya, dalam rapat penggodokan rancangan Perpres PKUB, Kementerian Politik, Hukum dan HAM, Kementerian Agama, serta pihak lainnya bersepakat memasukkan penghayat kepercayaan dalam aturan tersebut.
Namun belakangan, Kementerian Dalam Negeri menolak memasukkan aliran kepercayaan dengan alasan tidak bisa dikategorikan sebagai agama.
Lantas, bagaimana dinamika pembuatan rancangan Perpres PKUB tersebut? Simak sejumlah artikel liputan khas Suara.com berikut, bersama sejumlah media yang didukung Serikat Jurnalis untuk Keberagaman.
---------------------------
Reportase ini merupakan bagian dari program fellowship oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk)
Pemerintah perlu segera menindak tegas pelaku perdagangan ilegal hiu dan memperkuat regulasi serta pengawasan di lapangan.
Skandal itu terkuak menjadi ramai di media sosial (medsos), pasalnya agenda picik itu menjadi bentuk pembungkaman keluarga korban.
Dari kasus Wensen School, perlahan terkuak fenomena gunung es bagaimana kualitas tempat penitipan anak belum menjadi perhatian dari pemerintah secara umum.
Berbagai skandal pimpinan KPK yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun belakangan turut membuat kepercayaan masyarakat kepada lembaga tersebut turun.