Kesenjangan Sosial, Buta Kemanusiaan Masyarakat Urban

Kesenjangan Sosial, Buta Kemanusiaan Masyarakat Urban


Suara.com - Warga Bekasi kembali digemparkan penemuan jasad manusia di sebuah rumah kontrakan. Dua jasad perempuan paruh baya dikubur pakai cor semen dalam sebuah rumah di Jalan Nusantara Raya, Harapan Jaya, Bekasi Utara, Jawa Barat, pada Selasa malam, 28 Februari 2023.

Korban adalah Heni Purwaningsih (48) dan Yusi (45). Keduanya warga Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur. Meninggal secara tragis, diduga kuat dibunuh oleh seorang pria berinisial P.

BERMULA dari Heriyanto mencari istrinya sudah lebih dari 24 jam tak pulang ke rumah. Sang istri, Yusi pada Minggu sore, 26 Februari, pamit dari rumah untuk pergi pengajian. Risau, hingga larut malam Yusi tak kunjung pulang.

Esoknya, Heriyanto melacak posisi terakhir Yusi dari GPS telepon pintar. Titik terakhir istrinya berada di kawasan Kavling Nusantara, Bekasi Utara.

Ia bergegas ke lokasi yang mengarah ke rumah kontrakan dengan pintu pagar berwarna merah. Ia meyakini sang istri ada di sana karena terdapat sandal Yusi.

Heriyanto gundah, memikirkan kondisi istrinya di dalam rumah itu. Ia sempat tak bisa masuk, pemilik kontrakan tak mengizinkan. Terjadi selisih paham. Warga pun berkerumun dan datang polisi.

Pukul 22.00 malam, Heriyanto bersama warga dan polisi akhirnya mendobrak pintu rumah. Mereka kaget melihat pernghuni rumah berinisial bersimbah darah dengan luka sayatan di lengan. P kemudian meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Di tempat itu, Yusi dan Heni ditemukan sudah tak bernyawa di bawah tangga yang dicor dengan menggunakan semen yang masih basah. P diduga bunuh diri setelah merenggut nyawa kedua korban.

Belakangan beredar sebuah rekaman CCTV yang merekam momen saat dua korban masuk ke dalam rumah kontrakan di hari nahas, Minggu, 26 Februari. Rekaman CCTV beredar luas di media sosial.

Dalam rekaman itu terlihat seorang pria lebih dahulu memasuki gang rumah dengan mengendarai sepeda motor. Tak berselang lama, muncul dua orang wanita berhijab mengendarai sepeda motor mengikuti pria yang diduga pelaku.

Terlihat dari rekaman CCTV, wanita yang mengendarai sepeda motor mengenakkan hijab berwarna ungu, sementara wanita yang membonceng kenakan hijab bermotif dengan baju berwarna biru.

Pria yang menggunakan sepeda motor tersebut kemudian berhenti di sebuah rumah dengan pagar warna merah. Terlihat kedua wanita tersebut kemudian turun dari motor dan tampak berbincang sebentar dengan pria di depan pagar rumah.

Tak berselang lama, wanita yang kenakan hijab warna ungu masuk ke dalam rumah diikuti oleh wanita dengan hijab bermotif dengan baju warna biru. Begitu kedua wanita tersebut masuk ke dalam rumah, pria terduga pelaku itu kemudian memasukan motornya.

Ketua RT setempat, Purwo Darmanto mengungkap dari hasil pemeriksaan CCTV di lingkungannya bahwa terduga pelaku melakukan transaksi pembelian bahan baku bangunan pada Senin (27/02) pukul 07.55 pagi.

Sedangkan para korban lebih dahulu masuk ke rumah kontrakan tersebut, pada hari minggu pukul 5 sore, terlihat dari CCTV.

Dugaan Utang Piutang

Terduga pelaku cukup dikenal warga sekitar tempat tinggalnya. Tetangganya, Paijo (70) mengungkap perangai terduga pelaku berinisial P yang juga tinggal di rumah kontrakan tersebut.

Pelaku dikenal sebagai sosok yang baik dan kerap ditemui ibadah di masjid. "Baik, kadang-kadang sholat di sini (masjid sekitar TKP). Makanya warga di sini kaget dengan kejadian ini," ujar Paijo saat ditemui SuaraBekaci.id, Selasa (28/02).

Sementara itu, ketua RT 011 Purwo Darmanto mengatakan bahwa pelaku telah tinggal di rumah kontrakan tersebut sejak 2019, dengan tinggal bersaama keluargnya.

Namun sejak delapan bulan terakhir hubungan keluarga P tidak harmonis dan bercerai dengan istrinya. "Mungkin sekitar delapan bulan yang lalu dia pisah dengan istrinya," ujar Purwo.

P sehari-hari dikenal bekerja sebagai buruh sebuah toko material bangunan. "Dia kerja di perusahaan yang jual beli besi di jalan Sultan Agung, informasi yang saya dapat itu," ucapnya.

Kekinian polisi menyelidiki lebih lanjut pembunuhan sadis ini. Publik dan keluarga korban masih menunggu hasil penyelidikan polisi, utamanya motif pelaku melakukan perbuatan keji tersebut. "Kami masih melakukan penyelidikan, pendalaman, nanti siapa pelakunya akan kami dapatkan. Apa motifnya masih dalam proses penyelidikan," ujar Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi.

Hengki belum bisa memastikan soal apakah motif perbuatan keji pelaku lantaran masalah utang piutang. "Masih didalami, kami masih mintai keterangan, baik terhadap keluarga korban ataupun keluarga yang lain, termasuk pemilik rumah kontrakan," tutur dia.

Masyarakat Tak Sehat

Berbagai cara dilakukan oleh pelaku pembunuhan untuk menutupi kejahatannya. Meski akhirnya kerap berakhir gagal. Seperti adagium tidak ada kejahatan yang sempurna. Sepanjang tiga tahun terakhir tercatat ada tiga kasus pembunuhan sadis di mana para pelaku menguburkan korbannya dengan cara dicor atau dikubur dalam ubin rumah.

Kasus pertama terjadi pada November 2020 lalu. Korban bernama Dedi dikubur dalam ubin di sebuah kontrakan di Jalan Kopral Daman, Sawangan, Depok, Jawa Barat usai dibunuh adik kandungnya sendiri bernama Juana. Terungkapnya kasus ini berawal dari kecurigaan pemilik kontrakan bernama Sukiswo (60). Ia saat itu mencurigai salah satu ubin dalam kontrakan yang sempat dihuni Dedi berbeda coraknya. 

Kasus kedua, terjadi pada Desember 2022. Berawal dari peristiwa satu keluarga keracunan di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, polisi mengungkap serangkaian peristiwa pembunuhan berantai yang dilakukan Wowon Erawan alias Aki (60) dan dua partner incrimenya Solihin alias Duloh (63) serta M. Dede Solehuddin (35). Total korban Aki Wowon Cs sejauh ini tercatat sebanyak sembilan orang. Sebagian besar korbannya dikubur oleh pelaku dalam ubin sekitar rumahnya di Cianjur, Jawa Barat. 

Terbaru kasus pembunuhan dua perempuan bernama Heni Purwaningsih (48) dan Yusi (45) di sebuah kontrakan kawasan Harapan Jaya, Bekasi Utara. Kedua jasad korban ditemukan dalam kondisi dicor dekat pada 28 Februari lalu. Motif kasus ini diduga dilatarbelakangi persoalan utang piutang.

Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala mengungkap kemungkinan mengapa para pelaku ini memilih cara mengubur korban dalam rumahnya untuk menutupi kejahatannya karena merasa telah menguasai tempat dan waktu atau locus dan tempus delicti. "Mereka bisa lakukan itu karena menguasai dua faktor sekaligus, yakni locus (tidak terburu-buru saat mengerjai korban termasuk mengubur) dan tempus (lokasi tempat kejadian perkara adalah rumah pelaku) di mana pelaku amat tahu situasinya," kata Adrianus kepada Suara.com, Kamis (2/3).

Adrianus tidak mengetahui pasti apakah pelaku terinspirasi oleh pelaku kejahatan lainnya dalam menggunakan cara ini. Namun dia menilai cara tersebut digunakan oleh pelaku karena dasar keyakinan tidak akan terungkap atau diketahui oleh orang lain. "Ada bagusnya jika penyidik atau peneliti kampus melakukan hal itu dengan cara meminta klarifikasi kepada pelaku yang masih hidup. Ada pula kemungkinan mereka tidak belajar dari kasus terdahulu, namun yakin bahwa orang yang dikubur itu berarti tidak akan terlihat atau ditemukan lagi. Jadi semacam ilusi," ungkap Adrianus. 

Sementara Sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Sunyoto Usman menilai para pelaku pembunuhan menggunakan cara mengubur atau mengecor korbannya untuk menghilangkan jejak diduga karena dinilai lebih efektif ketimbang dibuang di tempat yang umum. Terlebih, di era kekinian proses identifikasi jenazah lebih mudah dilakukan jika di banding beberapa tahun silam.  "Kalau sekarang dengan teknologi DNA misalnya ini bisa diketahui dari keluarga siapa," jelas Sunyoto. 

"Nah ini (cara mengubur atau mengecor korban) rupanya jadi modus untuk menghilangkan jejak yang dianggap lebih efektif, tidak mudah ketahuan. Dugaan saya seperti itu," sambungnya.

Sunyoto berpendapat maraknya aksi pembunuhan sadis yang terjadi di perkotaan erat kaitannya dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat. Lingkungan tidak sehat ini menurutnya ditandai dengan adanya kesenjangan sosial yang begitu tinggi.

Di masyarakat urban kemungkinan sakit cukup tinggi, karena desakan kebutuhan hidup. Lalu keinginan memenuhi kepuasan atau kesenangan itu tinggi, padahal biaya untuk itu tidak ada. 

Gengsi ingin memiliki yang menambah kesenangan, padahal di masyarakat urban tidak semuanya bisa mencukupi itu. Lapangan kerja terbatas, biaya hidup yang mahal. “Lingkungannya memang masyarakat tidak sehat itu," jelas Sunyoto.

Faktor lingkungan yang tidak sehat ini yang kemudian menurut Sunyoto berpengaruh besar dibanding terpaan arus informasi di televisi atau media sosial. Sebab menurutnya jika lingkungan sehat pengaruh yang timbul dari terpaan informasi di televisi atau media sosial bisa saja dipandang semata-mata hanya sebatas hiburan. 

"Kalau lingkungannya sehat, lingkungannya bagus itu ya tidak mempan itu jadi hiburan saja. Tapi kalau lingkungannya jelek, tidak sehat itu jadi referensi, bisa jadi rujukan untuk merealisasikan sikap dan tindakan bahkan mungkin jadi pembenar," terangnya. 

Kekeluargaan Urban Lemah

Sunyoto berpandangan, tingginya tingkat kriminalitas di masyarakat perkotaan, urban salah satu faktornya karena komunitas extended family atau keluarga besar lemah. Sehingga mereka sulit cari mediasi dalam memecahkan permasalahannya. Tak ada toleransi, memilih cara-cara kekerasan bahkan membunuh. “Kalau di pedesaan biasanya extended family itu kuat, mungkin kalau terjadi masalah keluarga itu diselesaikan oleh keluarga besar,” tuturnya.

Berbeda dengan masyarakat urban seperti di Jakarta yang lemah, bahkan mungkin tak mengenal keluarga besar dalam memecahkan masalah. Memang di masayrakat urban berkelompok, tetapi dasarnya bukan komunal, namun lebih ke asosiasional, lembaga atau organisasi. “Nah asosiasional ini tidak sekuat komunal yang extended family itu,” kata Sunyoto.

Lantas bagaimana analisasi kasus pembunuhan dua perempuan di Bekasi dengan dicor dan terduga pelaku bunuh diri?

Menurut Sunyoto, masalah utang piutang itu biasanya dianggap aib oleh banyak orang. Ketika ditagih tak mau membayar atau sulit membayar, orang merasa terhina. Bak pepatah ‘anda bagaimana kok air susu dibayar air tuba?'

“Kalau kemudian pelaku bunuh diri, mungkin ada kepanikan takut ketahuan. Mungkin,” ujarnya.